Saturday 8 September 2012

Ingin Berhenti dari Dakwah… (Penulisan Muhammad Ismail)



Sebuah Dialog selepas malam, “Akhi, dulu ana merasa semangat saat aktif dalam dakwah. Tapi belakangan rasanya semakin hambar. Ukhuwah makin kering. Bahkan ana melihat ternyata ikhwah banyak pula yang aneh-aneh.”

Begitu keluh kesah seorang mad’u kepada murobbinya.

Sang murobbi hanya terdiam, mencoba terus menggali semua kecamuk dalam diri mad’u-nya. “Lalu, apa yang ingin antum lakukan setelah merasakan semua itu?” sahut sang murobbi setelah sesaat termenung.


“Ana ingin berhenti saja, keluar dari tarbiyah ini. Ana kecewa dengan perilaku beberapa ikhwah yang justru tak islami. Juga dengan organisasi dakwah yang ana geluti; kaku dan sering mematikan potensi anggota-anggotanya. Bila begini terus, ana lebih baik sendiri saja” jawab ikhwah itu.

Sang murobbi termenung kembali. Tak tampak raut terkejut dari roman wajahnya. Sorot matanya tetap terlihat tenang, seakan jawaban itu memang sudah diketahuinya sejak awal. “Akhi, bila suatu kali antum naik sebuah kapal mengarungi lautan luas. Kapal itu ternyata sudah amat bobrok.Layarnya banyak berlubang, kayunya banyak yang keropos bahkan kabinnya bau kotoran manusia. Lalu, apa yang antum lakukan untuk tetap sampai pada tujuan?” tanya sang murobbi dengan kiasan bermakna dalam.

Sang mad’u terdiam berpikir. Tak kuasa hatinya mendapat umpan balik sedemikian tajam melalui kiasan yang amat tepat. “Apakah antum memilih untuk terjun ke laut dan berenang sampai tujuan?” sang murobbi mencoba memberi opsi. “Bila antum terjun ke laut, sesaat antum akan merasa senang. Bebas dari bau kotoran manusia, merasakan kesegaran air laut, atau bebas bermain dengan lumba-lumba. Tapi itu hanya sesaat. Berapa kekuatan antum untuk berenang sampai tujuan? Bagaimana bila ikan hiu datang? Darimana antum mendapat makan dan minum? Bila malam datang, bagaimana antum mengatasi hawa dingin?”

Serentetan pertanyaan dihamparkan di hadapan sang ikhwah tersebut. Tak ayal, sang ikhwah menangis tersedu. Tak kuasa rasa hatinya menahan kegundahan sedemikian. Kekecewaannya kadung memuncak, namun sang murobbi yang dihormatinya justru tak memberi jalan keluar yang sesuai dengan keinginannya. “Akhi, apakah antum masih merasa bahwa jalan dakwah adalah jalan yang paling utama menuju ridho Allah Swt?”

Pertanyaan menohok ini menghujam jiwa sang ikhwah. Ia hanya mengangguk. “Bagaimana bila ternyata mobil yang antum kendarai dalam menempuh jalan itu ternyata mogok? Antum akan berjalan kaki meninggalkan mobil itu tergeletak di jalan, atau mencoba memperbaikinya?” tanya sang murobbi lagi.

Sang ikhwah tetap terdiam dalam sesenggukan tangis perlahannya.

Tiba-tiba ia mengangkat tangannya; “Cukup Ustad, cukup. Ana sadar. Maafkan ana, Insya Allah ana akan tetap istiqomah. Ana berdakwah bukan untuk mendapat medali kehormatan. Atau agar setiap kata-kata ana diperhatikan” “Biarlah yang lain dengan urusan pribadi masing-masing. Biarlah ana tetap berjalan dalam dakwah.Dan hanya Allah saja yang akan membahagiakan ana kelak dengan janji-janji-Nya. Biarlah segala kepedihan yang ana rasakan jadi pelebur dosa-dosa ana.” Sang mad’u berazzam di hadapan sang murobbi yang semakin dihormatinya.

Sang murobbi tersenyum. “Akhi, jama’ah ini adalah jama’ah manusia. Mereka adalah kumpulan insan yang punya banyak kelemahan. Tapi di balik kelemahan itu, masih amat banyak kebaikan yang mereka miliki. Mereka adalah pribadi-pribadi yang menyambut seruan Allah untuk berdakwah. Dengan begitu, mereka sedang berproses menjadi manusia terbaik pilihan Allah.” “Bila ada satu dua kelemahan dan kesalahan mereka, janganlah hal itu mendominasi perasaan antum. Sebagaimana Allah ta’ala menghapus dosa manusia dengan amal baik mereka, hapuslah kesalahan mereka di mata antum dengan kebaikan-kebaikan mereka terhadap dakwah selama ini. Karena di mata Allah, belum tentu antum lebih baik dari mereka. Futur, mundur, kecewa atau bahkan berpaling menjadi lawan bukanlah jalan yang masuk akal”.

“Apabila setiap ketidaksepakatan selalu disikapi dengan jalan itu; maka kapankah dakwah ini dapat berjalan dengan baik?” sambungnya panjang lebar. “Kita bukan sekedar pengamat yang hanya bisa berkomentar. Atau hanya pandai menuding-menuding sebuah kesalahan. Kalau hanya itu, orang kafir pun bisa melakukannya. Tapi kita adalah da’i. Kita adalah khalifah. Kitalah yang diserahi amanat oleh Allah untuk membenahi masalah-masalah di muka bumi. Bukan hanya mengeksposnya, yang bisa jadi justru semakin memperuncing masalah.” Sang mad’u termenung merenungi setiap kalimat murobbinya. Azzamnya memang kembali menguat.

Namun ada satu hal tetap bergelayut di hatinya. “Tapi bagaimana ana bisa memperbaiki organisasi dakwah dengan kapasitas ana yang lemah ini?” sebuah pertanyaan konstruktif akhirnya muncul juga. “Siapa bilang kapasitas antum lemah? Apakah Allah mewahyukan begitu kepada antum? Semua manusia punya kapasitas yang berbeda. Namun tak ada yang bisa menilai bahwa yang satu lebih baik dari yang lain!” sahut sang murobbi. “Bekerjalah dengan ikhlas. Berilah tausyiah dalam kebenaran, kesabaran, dan kasih sayang pada semua ikhwah yang terlibat dalam organisasi itu.

Karena peringatan selalu berguna bagi orang yang beriman. Bila ada sebuah isu atau gosip, tutuplah telinga antum dan bertaubatlah. Singkirkan segala ghil antum terhadap saudara antum sendiri. Dengan itulah, Bilal yang mantan budak hina menemui kemuliaannya.” Malam itu, sang mad’u menyadari kesalahannya. Ia bertekad untuk tetap berputar bersama jama’ah dalam mengarungi jalan dakwah. Subhanallah…

Keep Istiqomah…!!

Sumber: ZILZAAL

No comments :

Post a Comment